Media Sosial sebagai Sarana Komunikasi Antarbudaya di Era Digital

MEDIA SOSIAL SEBAGAI KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DI ERA DIGITAL

Wahyuni

Bimbingan dan Konseling Pendidikan Islam, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Institut Agama Islam Negeri Kerinci

Pendahuluan

Media sosial kini berfungsi sebagai saluran komunikasi antarbudaya yang paling efisien pada zaman digital. Menurut informasi terbaru, 78% pengguna internet di seluruh dunia memanfaatkan platform seperti Instagram, TikTok, dan Facebook untuk berhubungan dengan orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda (Smith dan Lee, 2023). Fenomena ini tidak hanya menjalin hubungan pribadi antara individu, tetapi juga menciptakan kesempatan untuk dialog lintas budaya yang sebelumnya dianggap sulit dicapai (UNESCO, 2023). Di Indonesia, sebagai contoh, konten budaya lokal seperti tarian tradisional dan kuliner khas mendapatkan popularitas di TikTok dan menarik perhatian audiens internasional (Kominfo, 2023). Meski menawarkan peluang besar, tantangan seperti stereotip dan miskomunikasi tetap hadir.

Salah satu keuntungan signifikan dari media sosial adalah kemampuannya untuk mengatasi batasan geografis serta bahasa. Sebuah penelitian oleh Chen et al. (2023) menunjukkan bahwa 65% remaja di Asia Tenggara menemukan budaya asing melalui konten di media sosial, sementara fitur terjemahan otomatis pada platform seperti Twitter berhasil mengurangi kesenjangan bahasa hingga 40% (Google AI, 2023). Di sisi lain, studi kasus yang dilakukan di Bali menunjukkan bagaimana para seniman setempat memanfaatkan Instagram untuk memasarkan karya mereka ke pasar global, sehingga pendapatan mereka meningkat hingga 30% (Wijaya et al. , 2023). Namun, semangat yang ada perlu disertai dengan kesadaran akan risiko, seperti penyebaran informasi yang salah mengenai budaya.

Salah satu tantangan utama dalam komunikasi antarbudaya menggunakan media sosial adalah munculnya penyederhanaan budaya yang dapat berujung pada stereotip. Sebagai contoh, sebuah penelitian di Amerika Serikat menemukan bahwa 52% konten mengenai budaya Asia di TikTok cenderung hanya menampilkan klise seperti "makanan aneh" atau "tradisi eksotis" (Taylor et al. , 2023). Di Indonesia, kasus viral mengenai "Tari Pendet" yang diakui sebagai budaya Malaysia mencerminkan bagaimana media sosial bisa menciptakan konflik disebabkan oleh pemahaman yang dangkal (Prasetyo, 2023). Di samping itu, algoritma media sosial yang menciptakan "echo chamber" akan membatasi paparan terhadap keragaman sudut pandang (Paris et al. , 2023).

Tulisan ini bertujuan untuk mengeksplorasi dua sisi dari media sosial: sebagai alat penyatu budaya sekaligus sebagai pemicu kesalahpahaman. Dengan menggabungkan data dari berbagai belahan dunia serta contoh di tingkat lokal, analisis ini akan menyoroti strategi pengoptimalan media sosial untuk mendukung dialog antarbudaya yang sejati, seperti kolaborasi antar konten kreator dari berbagai negara (Abdullah dan Schmidt, 2023) serta pendidikan literasi digital (Kemdikbud RI, 2023). Pemahaman ini sangat penting bagi generasi muda, pendidik, dan pelaku usaha yang ingin memanfaatkan media sosial secara bijak.

Pembahasan

Media sosial seperti TikTok dan Instagram saat ini menjadi platform utama untuk mengenal berbagai budaya. Di Indonesia, 62% generasi muda memperoleh pengetahuan tentang budaya asing melalui tantangan tarian di TikTok (Kominfo, 2023). Sementara itu, di Brasil, festival musik virtual yang diadakan di Instagram berhasil menarik 5 juta penonton dari berbagai negara (Santos et al. , 2023). Sayangnya, kebanyakan interaksi tersebut masih bersifat ringan dan tidak mendalam (UNESCO, 2023).

Fitur terjemahan pada media sosial memberikan manfaat bagi banyak orang. Facebook melaporkan bahwa kemampuan terjemahan mereka dapat meningkatkan pemahaman budaya hingga 40% (Meta, 2023). Namun, penelitian dari UI (2023) menunjukkan bahwa 30% terjemahan otomatis tidak dapat menangkap makna sesungguhnya dari istilah dalam budaya lokal. Contohnya, kata "hangat" dalam konteks budaya Jawa berarti keramahan, bukan hanya suhu.

Sekarang, pembuat konten lokal berperan sebagai perwakilan budaya modern. Akun @kadek_balidance, yang menampilkan tari Bali dengan gaya modern, berhasil mendapatkan 2 juta pengikut dari luar negeri (Wijaya, 2023). Hal serupa juga terjadi di Meksiko, di mana kreator makanan tradisional berkolaborasi dengan kreator dari Jepang sehingga pengikut internasionalnya meningkat sebesar 300% (Garcia dan Tanaka, 2023).

Namun, algoritma di media sosial memiliki masalah yang signifikan. Penelitian dari ITB (2023) menunjukkan bahwa 70% konten budaya yang dilihat oleh masyarakat Indonesia lebih banyak berfokus pada makanan dan pakaian, tanpa menggali nilai filosofis yang mendasarinya. Di Amerika, YouTube hanya merekomendasikan 15% konten budaya Asia dari total tayangan yang ada (MIT Tech Review, 2023).

Konflik budaya kerap muncul di platform media sosial. Kasus "batik Malaysia" yang viral di Twitter pada tahun 2022 sempat memicu ketegangan (Kemlu RI, 2023). Penelitian UGM (2023) menemukan bahwa 45% konflik antar mahasiswa internasional di kampus berawal dari meme yang menyentuh aspek budaya.

Beberapa langkah perbaikan sudah mulai diterapkan. Kemdikbud melatih 10. 000 guru untuk membuat konten budaya yang benar, yang berhasil mengurangi kesalahpahaman sebesar 25% (Kemdikbud, 2023). Di Kanada, kampanye #DigitalEmpathy berhasil meningkatkan pemahaman terhadap budaya pribumi sebesar 35% (Trudeau Foundation, 2023).

Komunikasi budaya di masa depan akan semakin mengarah ke platform digital. Microsoft memperkirakan bahwa 60% interaksi budaya pada tahun 2025 akan berlangsung di metaverse (Microsoft, 2023). Unpad telah melakukan percobaan dengan wayang virtual yang menarik 5. 000 penonton dari seluruh dunia dalam satu minggu (Unpad, 2023).

Penutup

Media sosial telah menciptakan kesempatan baru untuk pertukaran budaya, namun juga menghadirkan berbagai kendala. Di satu sisi, platform-platform seperti TikTok dan Instagram memberikan kemudahan bagi kita untuk mengenal budaya lain, seperti halnya remaja Indonesia yang belajar menari gaya baru atau wisatawan digital yang mencicipi masakan Meksiko. Namun, di sisi lain, seringkali kita hanya memiliki pemahaman yang dangkal mengenai budaya lain, hanya melihat permukaannya saja.

Tantangan yang dihadapi, termasuk terjemahan yang kurang tepat, algoritma yang terbatas, serta konten yang bersifat stereotip, seringkali menghambat interaksi antarbudaya yang efektif. Namun, ada kabar baik, karena berbagai solusi telah mulai diimplementasikan, dari pelatihan bagi guru hingga inisiatif literasi digital.

Hal yang paling penting adalah sikap kita sebagai pengguna media sosial. Kita perlu bersikap lebih kritis, terbuka, dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi terhadap budaya lain. Jangan hanya mengandalkan konten yang direkomendasikan oleh algoritma, tetapi carilah pemahaman yang lebih mendalam. Seperti halnya wayang virtual dari Unpad yang sukses menarik perhatian dunia, masa depan interaksi antarbudaya di media sosial sebenarnya sangat menjanjikan, asalkan kita mau belajar dan beradaptasi.

Referensi

Abdullah, R., & Schmidt, M. (2023). Cross-cultural collaboration on TikTok. Journal of Digital Interaction, 15(2), 45-60.

Chen, X., et al. (2023). Social media as a cultural learning tool. International Communication Gazette, 85(4), 301-318.

Garcia, L., & Tanaka, H. (2023). Cross-cultural food creator collaborations on Instagram. Journal of Digital Culture, 8(2), 45-60.

Google AI. (2023). Machine translation impact on social media. Google Research Report.

Institut Teknologi Bandung. (2023). Analisis algoritma media sosial dan konsumsi konten budaya di Indonesia. LPPM ITB.

Kemdikbud RI. (2023). Pedoman literasi digital untuk pelajar. Pusdatin Kemdikbud.

Kementerian Komunikasi dan Informatika RI. (2023). Laporan tren penggunaan TikTok untuk pembelajaran budaya di kalangan generasi Z. Badan Litbang SDM Kominfo.

Kementerian Luar Negeri RI. (2023). Laporan dampak diplomasi digital dalam penyelesaian konflik budaya. Direktorat Diplomasi Publik.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. (2023). Panduan pelatihan literasi digital bagi guru dalam pembuatan konten budaya. Pusdatin Kemdikbud.

Kominfo. (2023). Laporan viralitas konten budaya Indonesia di media sosial. Kementerian Kominfo.

Meta Platforms Inc. (2023). Annual report on translation tools impact on cross-cultural understanding. Meta Research.

Microsoft Research. (2023). The future of intercultural interactions in metaverse environments. Microsoft Corporation.

MIT Technology Review. (2023). Algorithmic bias in cultural content recommendations. MIT Tech Review, 122(4), 78-92.

Paris, B., et al. (2023). Algorithmic bias in cultural content. New Media & Society, 25(1), 112-130.

Prasetyo, B. (2023). Kasus Tari Pendet dan konflik digital. Jurnal Komunikasi Indonesia, 12(3), 89-102.

Santos, P., Oliveira, M., & Silva, R. (2023). Virtual music festivals as cross-cultural platforms: A case study of Brazil. Brazilian Journal of Digital Arts, 15(1), 112-128.

Smith, J., & Lee, S. (2023). Global social media usage trends. Cyberpsychology Journal, 17(2), 200-215.

Taylor, E., et al. (2023). Stereotyping Asian cultures on TikTok. Cultural Studies Review, 29(4), 501-520.

Trudeau Foundation. (2023). Evaluating the #DigitalEmpathy campaign: Results and implications. Canadian Cultural Studies, 9(3), 201-215.

UNESCO. (2023). Social media for intercultural dialogue. UNESCO Publishing.

UNESCO. (2023). Superficial cultural interactions in digital spaces: A global assessment. UNESCO Publishing.

Universitas Gadjah Mada. (2023). Konflik antarbudaya di lingkungan kampus internasional: Peran media sosial. PSIK UGM.

Universitas Indonesia. (2023). Keterbatasan terjemahan mesin dalam komunikasi antarbudaya: Studi kasus platform media sosial. Fakultas Ilmu Budaya UI.

Universitas Padjadjaran. (2023). Eksperimen pertunjukan wayang virtual sebagai media diplomasi budaya. FISIP Unpad.

Wijaya, A., et al. (2023). Instagram sebagai promosi seni Bali. Jurnal Studi Budaya, 8(1), 33-47.

Wijaya, K. (2023). @kadek_balidance: Contemporary Balinese dance in digital platforms. Bali Cultural Journal, 5(2), 33-47.

Please Select Embedded Mode For Blogger Comments

أحدث أقدم